KATA PENGANTAR
Puji Syukur kami haturkan kepada Allah SWT
yang telah melimpahkan rahmat serta hidayahnya kami dapat menyelesaikan tugas
makalah kelompok kami. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Pengantar Perbankan yang berjudul “Dasar Hukum dan Pengertian Perbankan
Syariah”.
Dalam penyusunan makalah ini kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini.
Makalah ini disusun berdasarkan
sumber-sumber yang ada. Oleh karena itu kritik dan saran sangat berguna bagi
kami demi perbaikan dan penyempurnaan makalah selanjutnnya. Akhir kata
Wassalam.
Purwokerto,27 Mei 2015
DAFTAR ISI
Kata Pengantar .........................................................................................
1
Daftar Isi ...................................................................................................
2
Bab 1 Pendahuluan
..................................................................................
3
a.
Latar Belakang .........................................................................
3
b.
Rumusan Masalah
.................................................................... 4
c.
Tujuan Pembahasan
................................................................. 4
Bab II Pembahasan
.................................................................................
5
a.
Pengertian Bank Syariah
.......................................................... 5
b. Kegiatan
Usaha dengan Prinsip Syariah .................................. 8
c.
Dasar Hukum Perbankan
Syariah........................................... 10
Bab III Penutup
......................................................................................
12
a.
Kesimpulan
............................................................................ 12
Daftar Isi
.................................................................................................
13
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sudah cukup lama umat Islam Indonesia, demikian juga belahan dunia
Islam lainnya, menginginkan sistem perekonomian yang berbasis nilai-nilai dan
prinsip syariah untuk dapat diterapkan dalam segenap aspek kehidupan bisnis dan
transaksi umat. Sebab selama Islam hanya diwujudkan dalam bentuk ritualisme
ibadah, diingat pada saat kelahiran bayi, ijab kabul pernikahan, serta
penguburan mayat, sementara itu dimarginalkan dari dunia perbankan, asuransi,
pasar modal, pembiayaan proyek, dan transaksi ekspor impor maka umat Islam
telah mengubur Islam dalam-dalam dengan tangannya sendiri.
Sangat disayangkan, dewasa ini masih banyak kalangan yang melihat bahwa
Islam tidak berurusan dengan bank dan pasar uang, karena yang pertama adalah
dunia putih, sedangkan yang kedua adalah dunia hitam, penuh tipu daya dan
kelicikan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila beberapa cendikiawan dan
ekonom melihat Islam, dengan sistem nilai dan tatanan normatifnya, sebagai
faktor penghambat pembangunan.
Sekarang, saatnya para bankir yang masih mengimani Al-Qur’an sebagai
pedoman hidupnya dan hadits sebagai pedoman aktivitasnya memperkenalkan kepada
industri keuangan dan perbankan bahwa Islam memiliki prinsip syariah yang dapat
diterapkan dalam lembaga keuangan modern dan membuktikan bahwa dengan sistem
perbankan syariah, kita dapat menghilangkan wabah penyakit negative spread
“keuntungan minus” dari dunia perbankan.
- Rumusan Masalah
a.
Apa yang dimaksud dengan Bank
Syariah?
b.
Apa saja kegiatan Bank yang
menggunakan prinsip syariah?
c.
Apa dasar hukum dari perbankan
syariah menurut Islam dan Perundang-undangan Indonesia?
- Tujuan Pembahasan
a.
Untuk mengetahui pengertian dari
Bank Syariah
b.
Untuk mengetahui apa saja kegiatan
Bank yang menggunakan prinsip-prinsip yang berbasis syariah
c.
Untuk mengetahui dasar hukum Bank
Syariah menurut Islam dan Perundang-undangan Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Bank Syariah
Perbankan syariah atau perbankan Islam (Arab:
المصرفية الإسلامية al-Mashrafiyah
al-Islamiyah) adalah suatu sistem perbankan
yang pelaksanaannya berdasarkan hukum Islam (syariah).
Pembentukan sistem ini berdasarkan adanya larangan dalam agama Islam untuk meminjamkan atau memungut pinjaman dengan mengenakan bunga pinjaman
(riba),
serta larangan untuk berinvestasi
pada usaha-usaha berkategori terlara
ng (haram). Sistem perbankan konvensional tidak dapat menjamin absennya
hal-hal tersebut dalam investasinya, misalnya dalam usaha yang berkaitan dengan
produksi makanan atau minuman haram, usaha media atau hiburan yang tidak
Islami, dan lain-lain.[1]
Secara umum pengertian Bank Islam (Islamic Bank) adalah bank
yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariat Islam. Saat ini banyak
istilah yang diberikan untuk menyebut entitas Bank Islam selain istilah Bank
Islam itu sendiri, yakni Bank Tanpa Bunga (Interest-Free Bank), Bank
Tanpa Riba (Lariba Bank), dan Bank Syari’ah (Shari’a Bank).
Sebagaimana akan dibahas kemudian, di Indonesia secara teknis yuridis
penyebutan Bank Islam mempergunakan istilah resmi “Bank Syariah”, atau yang
secara lengkap disebut “Bank Berdasarkan Prinsip Syariah”.
Adapun dalam istilah Internasional sering disebut Islamic Banking
atau Interest-free banking. Yaitu lembaga keuangan yang operasional dan
berbagai produknya dikembangkan berlandaskan syari’ah Islam, khususnya
berkaitan pelarangan prsktik riba (bunga), maisir (spekulasi),
dan gharar (ketidakjelasan).[2]
Fungsi Bank
Syariah secara garis besar tidak berbeda dengan bank konvensional, yakni
sebagai lembaga intermediasi (intermediary institution) yang mengerahkan
dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana-dana tersebut kepada
masyarakat yang membutuhkannya dalam bentuk fasilitas pembiayaan. Perbedaan
pokoknya terletak dalam jenis keuntungan yang diambil bank dari
transaksi-transaksi yang dilakukannya. Bila bank konvensional mendasarkan
keuntungannya dari pengambilan bunga, maka Bank Syariah dari apa yang disebut
sebagai imbalan, baik berupa jasa (fee-base income) maupun mark-up atau
profit margin, serta bagi hasil (loss and profit sharing).
Bank
berdasarkan Prinsip Syariah (BPS) beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip
Syariah Islam, atau dengan kata lain yaitu bank yang tata cara beroperasinya
mengacu kepada ketentuan-ketentuan Islam (Al-Qur’an dan Hadis). Dalam tata cara
praktek-praktek yang di khawatirkan mengandung unsur-unsur riba untuk diisi
dengan kegiatan-kegiatan investasi atas dasar bagi hasil dari pembiayaan
perdagangan.
Berdasarkan
laporan perkembangan perbankan syariah dari Bank Indonesia tahun 2004,
perkembangan lembaga perbankan yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syariah meningkat menjadi tiga buah bank umum syariah, yaitu Bank
Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri, dan Bank Syariah Mega Indonesia. Saat
ini terdapat 13 Unit Usaha Syariah dari bank konvensional dengan jumlah
keseluruhan sebanyak 355 kantor usaha, dan 88 Bank Perkreditan Rakyat Syariah
(BPRS).[3]
Perkembangan
perbankan syariah di Indonesia telah menjadi tolak ukur keberhasilan eksistensi
ekonomi syariah. Bank muamalat sebagai bank syariah pertama dan menjadi pioneer
bagi bank syariah lainnya telah lebih dahulu menerapkan system ini ditengah
menjamurnya bank-bank konvensional. Krisis moneter yang terjadi pada tahun 1998
telah menenggelamkan bank-bank konvensional dan banyak yang dilikuidasi karena
kegagalan system bunganya. Sementara perbankan yang menerapkan system syariah
dapat tetap eksis dan mampu bertahan. Tidak hanya
itu, di tengah-tengah krisis keuangan global yang melanda dunia pada penghujung
akhir tahun 2008, lembaga keuangan syariah kembali membuktikan daya tahannya
dari terpaan krisis. Lembaga-lembaga keuangan syariah tetap stabil dan memberikan
keuntungan, kenyamanan serta keamanan bagi para pemegang sahamnya, pemegang
surat berharga, peminjam dan para penyimpan dana di bank-bank syariah. Hal ini
dapat dibuktikan dari keberhasilan bank Muamalat melewati krisis yang terjadi
pada tahun 1998 dengan menunjukkan kinerja yang semakin meningkat dan tidak
menerima sepeser pun bantuan dari pemerintah dan pada krisis keuangan tahun
2008, bank Muamalat bahkan mampu memperoleh laba Rp. 300 miliar lebih.
Perbankan
syariah sebenarnya dapat menggunakan momentum ini untuk menunjukkan bahwa
perbankan syariah benar-benar tahan dan kebal krisis dan mampu tumbuh dengan
signifikan. Oleh karena itu perlu langkah-langkah strategis untuk
merealisasikannya.
Langkah
strategis pengembangan perbankan syariah yang telah di upayakan adalah
pemberian izin kepada bank umum konvensional untuk membuka kantor cabang Unit
Usaha Syariah (UUS) atau konversi sebuah bank konvensional menjadi bank
syariah. Langkah strategis ini merupakan respon dan inisiatif dari perubahan
Undang – Undang perbankan no. 10 tahun 1998. Undang-undang pengganti UU no.7
tahun 1992 tersebut mengatur dengan jelas landasan hukum dan jenis-jenis usaha
yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syariah.
Semua
aktivitas usaha yang berdasarkan sistem perekonomian Islam mempunyai
karakteristik sebagai berikut :
·
Bersifat mandiri.
·
Sesuai dengan syariat
Islam.
·
Produk yang dihasilkan
dapat memenuhi semua kebutuhan masyarakat.
·
Berprinsip mencari
keuntungan.
·
Menerapkan fungsi
efisien dan manfaat dengan menjaga kelestarian.
B. Kegiatan
Usaha dengan Prinsip Syariah
Prinsip Syariah
dalam kegiatan usaha bank syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum
Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan
kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah. Kegiatan
usaha dengan prinsip syariah antara lain:
a) Wadiah
(titipan)
b) Mudharabah
(bagi hasil)
c) Musyarakah
(penyertaan)
d) Ijarah
(sewa beli)
e) Salam
(pembiayaan di muka)
f) Istishna
(pembiayaan bertahap)
g) Hiwalah
(anak piutang)
h) Kafalah
(garansi bank)
i)
Rahn (gadai)
j)
Sharf (transaksi valuta
asing)
k) Wardh
(pinjaman talangan)
l)
Wardhul Hasan (pinjaman
sosial)
m) Ujrah
(fee)[4]
Prinsip-prinsip syariah itu
dimanifestasikan dalam kegiatan menghimpun dan menyalurkan dana.
1. Menghimpun
dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan meliputi :
a. Giro
berdasarkan prinsip wadiah (hanya untuk BUS), yaitu penitipan uang dalam bentuk
rekening giro antara pihak yang mempunyai uang dengan pihak yang diberi
kepercayaan, dengan tujuan menjaga keselamatan, keamanan, dan keutuhan uang
tersebut.
b. Tabungan
berdasarkan prinsip wadiah atau mudharabah, yaitu berupa akad/perjanjian
dalam bentuk tabungan antara pihak penyimpan dana (shahibul maal) dengan pihak
bank (mudharib) untuk memperoleh pendapatan atau keuntungan yang dibagi
berdasar nisbah yang telah disepakati di awal akad/perjanjian.
c. Deposito
berjangka berdasarkan prinsip mudharabah, yaitu investasi melalui simpanan
pihak ketiga yang penarikannya hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu
tertentu(jatuh tempo) dengan mendapatkan imbalan bagi hasil.
d. Bentuk
lain berdasarkan prinsip wadiah atau mudharabah. Misalnya adalah Tabungan
Mudharabah, yaitu simpanan pihak ketiga di Bank Syariah yang penarikannya dapat
dilakukan setiap saat atau beberapa kali sesuai dengan perjanjian.[5]
2. Menyalurkan
penyaluran dana melalui :
a. Transaksi
jual beli berdasarkan prinsip murabahah (akad dimana bank memberi barang yang
dibutuhkan nasabah sebesar harga pokok ditambah dengan keuntungan yang telah
disepakati), istishna (akad jual beli barang antara pemesan dengan penerima
pesanan dengan bantuan dana dari pihak bank), ijarah(penggabingan sewa dan beli
dimana si penyewa mempunyai hak untuk memiliki barang pada akhir masa sewa),
salam(akad jual beli barang pesanan antara nasabah dengan penjual dengan
bantuan dana dari bank yang pembayarannya dilakukan di muka secara penuh oleh
pihak bank), dan jual beli lainnya.
b. Pembiayaan
bagi hasil berdasarkan prinsip mudharabah, musyarakah(pembiayaan sebagian dari
modal usaha keseluruhan dimana pihak bank akan dilibatkan dalam proses
manajemen, pembagian keuntungan berdasarkan perjanjian), dan bagi hasil lainnya.
c. Pembiayaan
lainnya berdasarkan prinsip hiwalah/anjak piutang (akad pemindahan piutang
nasabah ke bank dari pihak lain. Nasabah meminta bantuan pihak bank untuk
membayarkan terlebih dahulu piutang yang timbul dari jual beli dan akan
mengganti sesuai dengan perjanjian. Bank memperoleh imbalan sebagai jasa
pemindahan pitang), rahn/gadai (akad penyerahan sejumlah uang dari nasabah ke
pihak bank sebagai jaminan atas sebagian atau seluruh utang), dan qardh (akad
pinjaman dari bank kepada pihak tertentu dan wajib dikembalikan dengan jumlah
yang sama sesuai dengan pinjaman).[6]
C. Dasar
Hukum Perbankan Syariah
Islam
mengajak kepada para pemilik harta untuk mengembangkan harta mereka dan
menginvestasikannya, sebaliknya melarang mereka untuk membekukan dan tidak
memfungsikannya. Demikian juga tidak diperbolehkan bagi pemilik uang untuk
menimbun dan menahannya dari peredaran, sedangkan umat dalam keadaan
membutuhkan untuk memfungsikan uang itu untuk proyek-proyek yang bermanfaat dan
dapat membawa dampak berupa terbukanya lapangan pekerjaan bagi para
pengangguran dan menggairahkan aktivitas ekonomi. Sesuai dengan Al-Qur’an surah
At-Taubah [9] ayat 34-35. Dan surah Al-Maidah ayat 8.
Perkembangan
lembaga keuangan syariah di Indonesia telah dimulai sejak lama, yaitu sejak
lembaga keuangan bukan bank hadir dengan konsep bagi hasil. Namun demikian,
lembaga perbankan syariah secara formal dimulai sejak tahun 1992 dengan hadirnya
perbankan syariah pertama, yaitu Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang didirikan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992.
Bank
berdasarkan prinsip Syariah diatur dalam UU No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah
diubah dengan UU No.10 Tahun 1998 (Salah satu bentuk usaha bank adalah
menyediakan pembiayaan dan/atau melakukan kegiatan lain berdasarkan prinsip
syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia)[7],
dengan latar belakang adanya suatu keyakinan dalam agama Islam yang merupakan
suatu alternatif atas perbankan dengan kekhususannya pada prinsip Syariah.[8]
Tujuannya adalah mencapai kesejahteraan atau taraf hidup yang memungkinkan
masyarakat melaksanakan akidah syariat Islam dengan cara yang lebih baik.
Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Undang-undang yang secara
spesifik mengatur tentang Perbankan Syariah dan muncul setelah perkembangan
Perbankan Syariah di Indonesia mengalami peningkatan yang signifikan.[9]
Undang-Undang
Bank Indonesia
Telah
terbit dua undang-undang tentang Bank Indonesia yaitu Undang-undang No.23 Tahun
1999 yang telah di amandemen oleh Undang-undang No.3 Tahun 2004.Undang-undang
Bank Indonesia juga efektif sejalan dengan Bank Indonesia yang secara reguler
menerbitkan Peraturan Bank Indonesia(PBI).[10]
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Bank
Islam (Islamic Bank) adalah bank yang pengoperasiannya disesuaikan
dengan prinsip syariat Islam. Fungsi Bank Syariah secara garis
besar tidak berbeda dengan bank konvensional, yakni sebagai lembaga
intermediasi yang mengerahkan dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali
dana-dana tersebut kepada masyarakat yang membutuhkannya dalam bentuk fasilitas
pembiayaan. Perbedaannya adalah bila bank konvensional mendasarkan
keuntungannya dari pengambilan bunga, maka Bank Syariah dari apa yang disebut
sebagai imbalan, baik berupa jasa maupun mark-up atau profit margin, serta bagi
hasil. Dan tercantum dalam UU No. 7 Tahun 1992
sebagaimana telah diubah dengan UU No.10 Tahun 1998.
DAFTAR PUSTAKA
·
Kasmir. 2003. Dasar-dasar
Perbankan. Jakarta: PT.Raja Grafindo.
·
Arthesa,Ade dan Edia
Handiman. 2009. Bank & Lembaga Keuangan Bukan Bank. Jakarta:Indeks.
·
Hasibuan,Malayu. 2008. Dasar-Dasar
Perbankan. Jakarta: Bumi Aksara.
·
Antonio,Muhammad
Syafi’i. 2001. Bank Syariah Dari Teori ke Praktik. Jakarta:Gema Insani.
·
Wirdyaningsih. 2005. Bank
dan Asuransi Islam di Indonesia. Jakarta:Kencana.
·
Dahlan,Ahmad. 2012. Bank
Syariah.Yogyakarta:Teras.
[1] Rammal Zurbruegg,Awareness of Islamic Banking Products Among
Muslims,(Australia:Journal of Financial,2007),hal.65.
[2] Ahmad Dahlan, Bank Syariah,(Yogyakarta:Teras,2012), hal.99.
[3] Ade Arthesa dan Edia Handiman,Bank & Lembaga Keuangan Bukan
Bank,(Jakarta:Indeks,2009),hal.78.
[4] Kasmir,Dasar-dasar Perbankan,(Jakarta:Raja Grafindo
Persada,2003),hal.217.
[5] Malayu Hasibuan,Dasar-Dasar Perbankan,(Jakarta:Bumi
Aksara,2008),hal.42.
[6] Ade Arthesa dan Edia Handiman,Bank & Lembaga Keuangan Bukan
Bank,(Jakarta:Indeks,2009),hal.82.
[7] Ade Arthesa dan Edia Handiman,Bank & Lembaga Keuangan Bukan
Bank,(Jakarta:Indeks,2009),hal.77.
[8] Malayu Hasibuan,Dasar-Dasar Perbankan,(Jakarta:Bumi
Aksara,2008),hal.39.
[9] Wirdyaningsih,Bank dan Asuransi Islam di Indonesia,(Jakarta:Kencana,2005),Hal.58.
[10] Ahmad Dahlan, Bank Syariah,(Yogyakarta:Teras,2012), hal.94.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar